Sabtu, 12 Desember 2015

11 SEPTEMBER HARI JADI RRI, BUKAN HARI RADIO



 A. Sobana Hardjasaputra
 Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad & Unigal

          Pernyataan tentang sesuatu secara tertulis akan dipahami maknanya dari kalimat pernyataan itu. Dengan kata lain, dalam pernyataan tertulis, tepat-tidaknya makna pernyataan itu tergantung dari kalimatnya. Terhadap tanggal 11 September yang mengacu ke tahun 1945, berkaitan dengan berdirinya organ RRI, ada yang menyatakan secara tertulis, bahwa tanggal itu adalah ”Hari Radio”. Tepatkah makna pernyataan itu? Untuk memahami tepat-tidaknya makna pernyataan tersebut, baiklah kita simak lintasan sejarah radio di Indonesia sampai lahirnya RRI (Radio Republik Indonesia), untuk mengetahui latar belakang dan proses lahirnya RRI.
          Sumber-sumber akurat memuat informasi bahwa keberadaan organ radio di Indonesia berawal dari berdirinya Studio Radio Pemancar tanggal 2 Mei 1923. Studio Radio Pemancar itu berlokasi di kawasan Gunung Malabar, daerah Bandung selatan. Kira-kira dua tahun kemudian, para pencinta radio di Batavia (Jakarta) mendirikan BRV singkatan dari Bataviase Radio Vereniging (Perkumpulan Radio Batavia). BRV berdiri tanggal 16 Juni 1925.
          Keberadaan BRV mendorong lahirnya radio swasta di beberapa kota besar. Radio-radio swasta itu antara lain, NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep, Radio Siaran Hindia Belanda) di Jakarta, Bandung dan Medan. Di Medan juga terdapat AVROM (Algemeene Vereniging Radio Omroep Medan, Perkumpulan Umum Radio Siaran Medan). VORO (Vereniging Oosterche Radio Omroep, Perkumpulan Radio Siaran Ketimuran) di Jakarta. SRV (Solosche Radio Vereniging, Perkumpulan Radio Solo) di Solo. MAVRO (Mataramse Vereniging voor Radio Omroep, Perkumpulan Radio Siaran Mataram) di Yogyakarta. EMRO (Eerste Madiunse Radio Omroep, Radio Siaran Pertama Madiun) di Madiun. CIRCO (Chineese en Inheemse Radio Omroep, Radio Siaran Cina dan Pribumi) di Surabaya. Radio-radio swasta itu berdiri sejak awal tahun 1930-an.
          Sementara itu, kalangan tokoh pergerakan nasional pun menaruh perhatian terhadap radio. M. Sutarjo Kartohadikusumo, tokoh pergerakan nasional yang menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat dalam pemerintahan Hindia Belanda), memiliki gagasan untuk mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh radio swasta. Pertemuan berlangsung di Bandung tanggal 29 Maret 1937, dihadiri oleh wakil-wakil dari VORO, VORL, SRV, MAVRO, dan CIRCO. Hasilnya adalah membentuk badan baru radio dengan nama Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran, disingkat PPRK dengan ketua M. Sutarjo Kartohadikusumo. Tujuan PPRK adalah memajukan kesenian dan kebudayaan nasional. Oleh karena itu PPRK bersifat non-komersial. Untuk mencapai tujuan itu, PPRK berupaya untuk menjalin kerjasama dengan NIROM, dan berhasil. Selanjutnya PPRK berusaha keras untuk menyelenggarakan siaran sendiri, tanpa bantuan NIROM. Aktivitas radio-radio tersebut berlangsung sampai akhir pemerintahan Hindia Belanda (awal Maret 1942).
          Pada zaman pendudukan Jepang, organ-organ radio zaman Belanda dimatikan, kemudian diurus oleh sebuah jawatan bernama Hoso Kanri Kyoku (Pusat Jawatan Radio) berkedudukan di Jakarta. Cabang-cabangnya disebut Hoso Kyoku (Jawatan Radio), terdapat di Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Surakarta (Solo), Semarang, Malang, dan Surabaya. Pemerintah Militer Jepang juga mendirikan kantor berita, yaitu Kantor Berita Domei di Jakarta.
          Pertengahan tahun 1945, pasukan Jepang di medan perang makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Akhirnya Jepang menyerah kepada pihak Sekutu (14 Agustus 1945), setelah dua daerah di negeri Jepang, yaitu Hirosima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Sekutu.
          Meskipun tentara Jepang masih berada di Indonesia, karena mendapat tugas dari pihak Sekutu untuk menjaga status quo, dan Jakarta pun masih dijaga oleh tentara Jepang, namun tanggal 17 Agustus 1945 pagi hari, Bung Karno didampingi oleh Bung Hatta, atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pembacaan teks proklamasi itu berlangsung di kediaman Bung Karno Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional.
          Sore harinya, teks proklamasi kemerdekaan Indonesia berhasil disiarkan dari Kantor Berita Domei. Peristiwa itu terjadi setelah seorang wartawan yang telah memperoleh teks proklamasi dan penyiar radio Yusuf Ronodipuro serta Suprapto berhasil menyusup ke kantor berita itu. Bekerjasama dengan bagian teknik, saluran modulasi radio siaran luar negeri di kantor berita itu dihubungkan dengan radio pemancar di Tanjung Priok. Teks proklamasi dibacakan secara bergantian dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, masing-masing oleh Yusuf Ronodipuro dan Suprapto selama 15 menit. Penyiaran teks proklamasi kemerdekaan juga berlangsung di Bandung Hoso Kyoku.
          Naas menimpa Yusuf Ronodipuro. Ketika ia keluar dari Kantor Berita Domei, ia ditangkap oleh tentara Jepang dan disiksa, tetapi kemudian dibebaskan. Dalam perjalanan pulang, Yusuf Ronodipuro menemui Dokter Abdulrachman Saleh alias ”Pak Karbol” di rumahnya Jalan Kimia Jakarta, dan menceriterakan pengalamannya.
          Ceritera Yusuf Ronodipuro membangkitkan semangat juang Dokter Abdulrachman Saleh. Malam itu juga ia mengangkut perlengkapan radio pemancar buatannya ke ruang Laboratorium Ilmu Faal di gedung Sekolah Tinggi Kedokteran (sekarang Fakultas Kedokteran UI) Salemba. Dokter Abdulrachman Saleh melangsungkan siaran dalam negeri dan luar negeri. Siaran dalam negeri menggunakan kode (call sign) ”Suara Indonesia Merdeka”, siaran luar negeri mengunakan kode ”The Voice of Free Indonesia”. Siaran diawali oleh rekaman pidato Bung Karno dan Bung Hatta.
          Sementara itu, para tokoh radio menyadari betul bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya merdeka dan kedaulatan RI harus ditegakkan, karena tentara Jepang masih bercokol di Indonesia dan bakal menghadapi tentara Sekutu yang mengambilalih kekuasaan Jepang di Indonesia. Dalam perjuangan menegakkan kedaulatan RI, hubungan antara pemerintah dengan para pejuang dan komponen bangsa lainnya harus berlangsung secara cepat. Hal itu memerlukan alat komunikasi yang tepat, yaitu radio.
          Berdasarkan pemikiran itu, Dokter Abdulrachman Saleh, Maladi, dan sejumlah tokoh radio dari beberapa daerah mengadakan rapat di rumah Adang Kadarusman Jalan Menteng Dalam daerah Pejambon. Rapat berlangsung tanggal 11 September 1945 dengan hasil membentuk RRI (Radio Republik Indonesia) dan memilih Dokter Abdulrachman Saleh sebagai pemimpin umum RRI. Pada saat itu pula Dokter Abdulrachman Saleh dan kawan-kawan merumuskan deklarasi berisi tiga tugas dan fungsi utama RRI, yang kemudian disebut ”Tri Prasetya RRI”. Dokter Abdulrachman Saleh juga melontarkan semboyan RRI, ”Sekali di udara tetap di udara”.
          Pada tahap awal RRI terdiri atas delapan stasiun radio, yaitu RRI Jakarta sebagai RRI Pusat dan tujuh stasiun RRI yang berada di Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Purwokerto, Semarang, Malang, dan Surabaya. Sejalan dengan gejolak revolusi kemerdekaan, beberapa waktu kemudian di Pulau Jawa dan Sumatera berdiri RRI-RRI baru. Waktu itu fungsi dan peranan utama RRI adalah sebagai alat perjuangan menegakkan kedaulatan RI.
          Sampai awal tahun 1946, kedudukan RRI belum jelas. Di kalangan insan radio muncul dua pendapat. Sebagian berpendapat, RRI sebaiknya merupakan badan swasta. Sebagian lagi menyatakan bahwa RRI harus menjadi organ pemerintah.
          Untuk menetapkan kedudukan RRI diselenggarakan konferensi radio sampai dua kali. Konferensi pertama berlangsung tanggal 12 Januari 1946 di Surakarta, dipimpin oleh Dokter Abdulrachman Saleh. Konferensi kedua berlangsung tanggal 23-24 Januari 1946 di Purwokerto. Berdasarkan hasil konferensi itu Menteri Penerangan RI Moh. Natsir mengangkat Maladi sebagai Kepala Jawatan RRI, dan tanggal 1 April 1946 RRI ditetapkan menjadi Jawatan Radio di bawah Kementerian Penerangan RI.
          Uraian tersebut menunjukkan bahwa sebutan ”Hari Radio” kurang tepat ditujukan pada tanggal 11 September. Sebutan itu bersifat umum. Bila diterapkan di Indonesia sebutan itu mengacu pada tiga alternatif tanggal. Pertama, tanggal 2 Mei 1923, berdirinya Studio Radio Pemancar di Bandung (kawasan Gunung Malabar). Kedua, tanggal 16 Juni 1925, berdirinya BRV (Bataviase Radio Vereniging. Ketiga, tanggal 29 Maret 1937, berdirinya PPRK (Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran). Oleh karena itu, sesuai dengan kejadiannya, tanggal 11 September lebih tepat disebut Hari Jadi RRI, bukan Hari Radio.
          Mudah-mudahan penjelasan itu bermanfaat bagi pengetahuan masyarakat. Dirgahayu RRI dalam usia ke 68 tahun. Semoga program-program siaran RRI makin berkualitas dan menarik, sehingga RRI tetap dicintai oleh masyarakat.


Selasa, 06 Agustus 2013

Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya



ASAL-USUL KABUATEN TASIKMALAYA
DAN KAJIAN HARI JADINYA[1]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra[2]


PENDAHULUAN
            Untuk mengetahui Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya yang benar menurut fakta sejarah, asal-usul kabupaten itu perlu dipahami dengan baik. Hal itu disebabkan pembentukan suatu kabupaten adalah peristiwa sejarah sebagaimana terjadinya (history as past actuality).
            Setelah Kerajaan Sunda (Pajajaran) runtuh (1579/1580), di wilayah Priangan terdapat dua pemerintahan berbentuk kerajaan, yaitu Galuh dan Sumedang Larang. Pada awal abad ke-17, wilayah Priangan dikuasai oleh Kerajaan Mataram, ketika kerajaan itu diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645). Akibatnya, status Kerajaan Galuh berubah menjadi Kabupaten Galuh dan Kerajaan Sumedang Larang berubah menjadi Kabupaten Sumedang. Berdasarkan fakta sejarah, dua kabupaten itulah yang pertama kali berdiri di wilayah Priangan.
            Sultan Agung berambisi menguasasi Priangan dengan tujuan untuk menjadikan wilayah itu sebagai batu loncatan dalam upaya mengusir Kompeni dari Batavia. Untuk melaksanakan upaya itu, Sultan Agung meminta bantuan Dipati Ukur, penguasa Tatar Ukur (sebagian daerah Priangan bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang), untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni. Tahun 1628 Dipati Ukur memimpin pasukannya menyerang Kompeni di Batavia. Namun serangan Dipati Ukur gagal, karena pasukan Mataram terlambat datang ke Batavia. Kegagalan itu menyebabkan Dipati Ukur memberontak terhadap pihak Mataram.


PEMBENTUKAN KABUPATEN SUKAPURA
            Untuk menumpas pemberontakan Dipati Ukur, Sultan Agung meminta bantuan beberapa kepala daerah di Priangan. Berkat bantuan para kepala daerah itu, pemberontakan Dipati Ukur berhasil ditumpas pada akhir tahun 1631/awal 1632. Kepala daerah yang dianggap paling berjasa membantu Mataram adalah Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti), Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta), dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih).
            Sebagai imbalan atas jasa para kepala daerah itu, Sultan Agung pertama kali mengangkat Ki Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Hal itu dinyatakan dalam Piagĕm[3] (Piagam) bertanggal 9 Muharam taun Jimakhir (26 Juli 1632). Kemudian dengan Piagĕm tanggal 9 Muharam taun Alip (16 Juli 1633) Sultan Agung juga mengangkat Ki Astamanggala menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun dan Ki Somahita menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya, sekaligus mengukuhkan pengangkatan Ki Wirawangsa (Tumenggung Wiradadaha) sebagai Bupati Sukapura. Berarti sejak tanggal 16 Juli 1633 di wilayah Priangan berdiri tiga kabupaten baru, yaitu Sukapura, Bandung, dan Parakanmuncang.
Semula Kabupaten Sukapura beribukota di Dayeuh Tengah. Dalam perjalanan sejarahnya, ibukota kabupaten itu berkali-kali pindah[4]. Setelah beberapa tahun Kabupaten Sukapura beribukota di Manonjaya, ibukota kabupaten pindah lagi kota baru Tasikmalaya yang diresmikan tanggal 1 Oktober 1901. Tahun 1913 – masa pemerintahan Bupati R.A.A. Wiratanuningrat (1908-1937) –nama kabupaten diganti menjadi Kabupaten Tasikmalaya, sesuai dengan nama ibukotanya. Berarti Kabupaten Tasikmalaya adalah kelanjutan dari Kabupaten Sukapura. Dengan kata lain, Kabupaten Sukapura merupakan cikal-bakal Kabupaten Tasikmalaya.


Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya
            Uraian tersebut mengandung arti bahwa dari segi metodologi sejarah ada dua alternatif tanggal yang seharusnya dipilih salah satunya sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya.
Alternatif  I : Tanggal 26 Juli 1632, yaitu tanggal pengangkatan Ki Wirawangsa            (Tumenggung Wiradadaha) menjadi Bupati Sukapura, yang berarti   tanggal berdirinya Kabupaten Sukapura.
Alternatif II :  Momentum pergantian nama Kabupaten Sukapura menjadi        Kabupaten Tasikmalaya (tahun 1913). Tanggal dan bulannya dapat      ditemukan, karena pergantian nama kabupaten zaman    pemerintahan Hindia     Belanda diresmikan dengan besluit (surat           keputusan) gubernur jenderal, yang alinannya dimuat dalam        Staatsblad (Lembaran Negara).
            Bila kedua alternatif tanggal itu dihubungkan dengan tanggal 21 Agustus 1111, yang sejak tanggal 1 Agustus 1975 (SK DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya No. Dp 041.2/ 8/1975) sampai hari ini dianggap sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya, jelas anggapan itu salah, karena tanggal itu tidak sesuai konteks permasalahannya. Memang tanggal 21 Agustus 1111 juga adalah fakta sejarah, tetapi bukan fakta berdirinya Kabupaten Sukapura dan bukan pula tanggal digantinya nama Kabupaten Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Tanggal 21 Agustus 1111 adalah tanggal Prasasti Geger Hanjuang. Prasasti itu berisi informasi tentang berdirinya Kerajaan Galunggung, ditandai oleh upacara penobatan Batari Hyang menjadi penguasa Kerajaan Galunggung dengan sebutan Ratu Galunggung. Berarti Kerajaan Galunggung bukan cikal-bakal Kabupaten Tasikmalaya. Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa sampai abad ke-15, di wilayah Priangan belum ada pemerintahan dalam bentuk kabupaten.
            Dalam ilmu sejarah, kesalahan itu disebut kesalahan verifikasi (kesalahan pembuktian). Kesalahan itu juga merupakan kesalahan penafsiran, yaitu menganggap Kerajaan Galunggung sebagai cikal-bakal Kabupaten Tasikmalaya. Konsekuensi dari kesalahan itu, tanggal Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya harus diganti, dengan mengacu pada dua alternatif tanggal tersebut di atas. Pergantian itu selain tuntutan metodologi sejarah juga terkait dengan tanggungjawab moral, yaitu untuk tidak mewarisi generasi penerus dengan sejarah yang salah.


PENUTUP
            Tanggal 21 Agustus 1111 tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya, baik secara ilmiah maupun secara rasional. Fakta sejarah menunjukkan, 21 Agustus 1111 bukan tanggal pembentukan Kabupaten Sukapura dan bukan pula tanggal pergantian nama Kabupaten Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Oleh karena itu, Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya harus segera diganti oleh salah satu alternatif tanggal yang telah disebutkan.
            Alternatif mana dari dua alternatif tanggal tersebut yang tepat atau memadai untuk dipilih dan ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya, perlu dibahas oleh tim khusus dengan melibatkan sejarawan profesional yang memahami masalah tersebut. Hasil pembahasan – maaf bukan mapatahan ngojay ka meri (menggurui) – ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya menggantikan tanggal 21 Agustus 1111, setelah terlebih dahulu mencabut SK DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya No. Dp 041.2/ 8/1975, yang menetapkan tanggal 21 Agustus 1111 sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya. Tindak lanjutnya, pergantian tanggal hari jadi itu disosialisasikan secara luas kepada masyarakat.
            Menurut pemikiran saya berdasarkan kaidah metodologi sejarah, alternatif I, yaitu tanggal 26 Juli 1632 (tafsiran dari 9 Muharam taun Jimakhir), tanggal pembentukan Kabupaten Sukapura, lebih tepat/memadai dipilih sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya daripada alternatif II. Dasar pemikiranya menyangkut dua hal. Pertama, Kabupaten Sukapura – seperti telah disebutkan – merupakan cikal-bakal Kabupaten Tasikmalaya, atau Kabupaten Tasikmalaya adalah kelanjutan dari Kabupaten Sukapura. Kedua, warga Sukapura, khususnya keturunan Buapti Sukapura, tidak akan merasa disisihkan. Hal yang kedua penting untuk diperhatikan agar tidak menimbulkan pro-kontra seperti yang telah terjadi atas pemilihan/penetapan tanggal 21 Agustus (1111).
            Perlu dikemukakan bahwa pemilihan/penetapan tanggal 26 Juli 1632 yang berasal dari piagĕm pengangkatan Ki Wirawangsa menjadi Bupati (pertama) Sukapura, bukan berarti mengagungkan Sultan Agung Raja Mataram dan bukan pula mengistimewakan warga Sukapura, tetapi tanggal tersebut secara metodologi sejarah adalah tanggal yang tepat atau memadai, dalam arti dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan rasional, menjadi Hari Jadi Kabupaten Sukapura. Seperti telah disebutkan, Kabupaten Tasikmalaya adalah kelanjutan dari Kabupaten Sukapura.
            Alternatif II yaitu tanggal pergantian nama Kabupaten Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya, dapat pula dipilih sebagai Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya, namun ada tetapinya, yaitu pemilihan tanggal alternatif II akan menimbulkan kekhawatiran atau dampak negatif. Generasi penerus warga Tasikmalaya dan orang yang tidak memahami kesejarahan Sukapura-Tasikmalaya, akan berpendapat bahwa tanggal itu (tahun 1913) adalah tanggal pertamakali adanya pemerintahan kabupaten di daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya. Bila hal itu menjadi bagian dari materi pelajaran (mulok) di sekolah, berarti siswa diberi pengetahuan sejarah yang salah. Akibat lebih jauh, akan terjadi salah kaprah mengenai hal itu di kalangan masyarakat luas.


SUMBER ACUAN
(Selektif)



Ekadjati, Edi S. 1982.
            Ceritera Dipati Ukur; Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
de Haan, F. 1911.
            Priangan; De Preanger Regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur    tot 1811. II. Batavia: BGKW.
Hardjasaputra, A. Sobana. 1985.
            Bupati-Bupati di Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad Ke-17–19.                   Tesis. Yogyakarta: Uiversitas Gadjah Mada.
-------. 2003
            ”Hari Jadi Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya Perlu Dikaji Ulang”. SK   Priangan, Juni 2003.
-------. 2006.
            ”Geger Hanjuang dan Hari Jadi Tasikmalaya”. Pikiran Rakyat, 29 Agustus         2006.
-------. 2010.
            ”21 Agustus 111 Bukan Hari Jadi Tasikmalaya”. Pikiran Rakyat, September      2010.
Holle, K.F. 1868.
            ”Geschiedenis der Preanger-Regentschappen”. TBG, XVII: 34-432.
-------. 1869.
            ”Bijdragen Tot de Geschiedenis de Preanger-Regentschappen”. TBG, XVII: 341- 343.
Hoofdecomitte. 1932.
            Pangeling-ngeling 300 Tahun Ngadegna Sukapura. (Tasikmalaja).
Kern, R.A. 1898.
            Geschiedenis der Preanger-Regentschappen; Kort Overzigt. Bandung: De      Vries & Fabricius.
Kertinegara. t.th.
            Sedjarah Dipati Ukur dan Kabupaten Sukapura. Leiden: Universiteit Leiden.             Cod. Or. 7858.
Sastrahadiprawira, R. Memed. 1931-1933.
            ”Manondjaja Dajeuh Narikolot”. Parahiangan, 48 (Berseri).
Soeria di Radja. 1927.
            ”Dipati Oekoer”. Poesaka Soenda, V, 3-4, Maret-April (Berseri).
Tim Peneliti Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya. 1973/1974.
            Hari Jadi Tasikmalaya. Laporan Hasil Penelitian. Tasikmalaya.
Volksalmanak Soenda. 1922, 1937.
            Batavia: Bake Poestaka.
Widjajakusuma, R.D. Asikin. 1961.
            Tina Babad Pasundan; Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna     Karadjaan Padjadjaran Dina Taun 1580. Bandung: Kalawarta Kudjang.

Lampiran
BIO DATA

Nama lengkap
: Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra, M.A.
Tempat & tgl. lahir
: Ciamis, 4 September 1944
Alamat
: Kompleks Perumahan Mandala, Jl. Mandala II No. 53

  Terusan Jl. Jatihandap, Cicaheum, Bandung 40193

  Tlp. (022) 7200330 – HP 0813 2203 2203
Pekerjaan
: Dosen MK Pengantar Ilmu Sejarah, Museologi, Kajian Budaya,

  Metode Penelitian, Bibliografi dan Kearsipan.
Jabatan
  Guru Besar Ilmu Sejarah FIB Univ. Padjadjaran & Univ. Galuh
Pendidikan tinggi
1. Sarjana Muda Sejarah (Unpad)

2. Sarjana Ilmu Perpustakaan (UI)

3. Sarjana Sejarah (Unpad)

4. Master Sejarah (UGM & Monash University Australia)

5. Doktor Sejarah (Monash University Australia & UI).
Profesi
: Sejarawan. Pemerhati masalah sejarah daerah & sosial budaya.
Hasil Penelitian/Karya
  1. Pemerintahan Daerah Jawa Barat Masa Revolusi Fisik,
Ilmiah, antara lain:
      1945-1949 (1980).

  2. Bupati Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad

      Ke-19 (Tesis, 1985).

  3. Peta Sosial Budaya Jawa Barat (1993/1994)

  4. Transportasi Kereta Api di Jawa Barat dan Pengaruhnya.

      Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi di Bandung dan

      Sekitarnya, 1884 – 1906 (1996)

  5. Jawa Barat Pasa Masa Pendudukan Jepang (1997).

  6. Sejarah Kota Bandung 1810-1906 & 1906-1945 (1999/2000)

  7. Perubahan Sosial di Bandung 1810 – 1906 (Disertasi, 2002).

  8. Sejarah Purwakarta Abad ke-19 – Abad ke-20 (2003)

  9. Sejarah Tangerang (2004)

10. Sejarah Sumedang (2005)

11. Metode Penelitian Sejarah (2007)

12. Teknik Penelitian dan Penulisan Sejarah (2009/2010)

13. Sejarah Cirebon Abad XV – Pertengahan Aabad XX (2011)

14. Berbagai makalah tentang sejarah dipresentasikan dalam loka-

      karya, kongres, seminar, dan simposium (tingkat nasional dan

      internasional)

15. Artikel-artikel tentang sejarah dan masalah sosial dalam media

      massa (surat kabar dan majalah/jurnal)
Pengalaman penelitian dll.
- Penelitian sumber sejarah dan budaya Jawa Barat, di dalam dan di

  luar negeri (Belanda, Inggris, Australia).

- Penemu Hari Jadi Kota Bandung (25 September 1810)

- Penemu Hari Jadi Purwakarta (20 Juli 1831)

- Penemu Hari Jadi Garut (16 Februari 1813)
Organisasi Profesi
- Lembaga Pusat Studi Sunda: Ketua Bidang Penelitian

- Wargi Galuh Puseur: Ketua Bidang Penelitian

- Ruwat (Rukun Wargi Tatar) Sunda: Dewan Pakar Sejarah Budaya


Bandung, 1 Maret 2013


Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra, M.A.


                [1] Makalah dalam Lokakarya bertema “Menggali Hari Jadi Kabupaten Tasikmalaya” tanggal 17 Juni 2013, diselenggarakan oleh Pemerintah/DPRD Kabupaten Tasikmalaya, bertempat di Ruang Serbaguna DPRD Kabupaten Tasikmalaya.
                [2] Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran dan Universitas Galuh.
                [3] Piagam yang dari Sultan Agung menggunakan tanggal berdasarkan tarikh Jawa-Islam.
                [4] Kabupaten Sukapura mengalami lima kali perpinahan ibukota, yaitu dari Dayeuh Tengah ke ke Leuwi Loa, Kampung Empang (sekarang Kecamatan Sukaraja), Pasirpanjang, Manonjaya, dan Tasikmalaya.

Minggu, 23 Juni 2013

Kesultanan Kasepuhan Cirebon Eksistensinya Belum Terdokumentasikan




KESULTANAN KASEPUHAN CIREBON
Fungsi dan Peranannya Pada Setiap Zaman
Belum Terdokumentasikan
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra



            Mengenai sejarah Cirebon sudah ada beberapa tulisan. Berdasarkan sifatnya, tulisan-tulisan itu terbagi atas sejarah populer, ilmiah-populer, dan sejarah ilmiah. Namun pada umumnya tulisan-tulisan itu baru merupakan penggalan-penggalan dari sejarah Cirebon periode tertentu dan mengenai aspek tertentu. Tulisan sejarah Cirebon yang bersifat komprehensif hasil penelitian secara ilmiah, hampir belum ada.
            Fakta sejarah menunjukkan, Cirebon semula (sejak tahun 1482) adalah Kerajaan Islam, pusat penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat. Sejak tahun 1677 status Kerajaan Islam Cirebon berubah menjadi kesultanan terbagi atas kesultanan-kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Berarti sampai saat ini kesultanan-kesultanan tersebut memiliki perjalanan sejarah lebih dari tiga abad. Dalam kurun waktu itu, kesultanan di Cirebon mengalami zaman Kompeni, pemerintah Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan.
            Beberapa tulisan memang menyinggung kesultanan di Cirebon. Akan tetapi, bagaimana eksistensi kesultanan dan peranan sultan-sultan Cirebon pada setiap zaman, dapat dikatakan belum terungkap. Pada beberapa tulisan bahkan tahun berdirinya Kesultanan Kasepuhan berbeda-beda.
            Pada zaman penjajahan, sultan memiliki kedudukan dan peranan yang unik. Pada satu sisi, sultan adalah pemimpin kesultanan sekaligus pemimpin tradisional. Pada sisi lain, sultan merupakan objek dari kekuasaan asing. Kedudukan dan peranan sultan sebagai penguasa kesultanan sekaligus sebagai pemimpin tradisional, hampir belum terungkap.
            Oleh karena itu, dalam program revitaslisasi keraton di Cirebon dengan Keraton Kasepuhan sebagai pilot project, hendaknya revitalisasi itu tidak hanya ditujukan pada aspek fisik, tetapi juga pada aspek non-fisik. Dalam berbincang-bincang dengan Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat, SE tanggal 4 Juni 2013, beliau menyatakan bahwa aspek non-fisik memang sudah dalam pemikiran beliau. Dalam pemikiran saya, salah satu aspek non-fisik itu adalah eksistensi Kesultanan Kasepuhan pada setiap zaman perlu diteliti.
            Pada setiap zaman yang dialaminya tentu sultan-sultan memiliki pengalaman penting, baik yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai penguasa kesultanan maupun sebagai pemimpin tradisional. Pengalaman para sultan itu penting untuk dikaji, karena totalitas pengalaman manusia di masa lampau sangat berharga untuk dipetik makna dan manfaatnya. Historia Vitae Magistra , ”sejarah adalah guru kehidupan”. Manfaat yang dimaksud adalah sebagai bahan acuan dalam menghadapi kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal itu sesuai dengan cakupan dimensi sejarah, yaitu past – present – future. Kehidupan masa sekarang adalah hasil dan kesinambungan dari masa lampau, dan kehidupan masa mendatang adalah hasil dan kesinambungan masa kini.
     Penelitian itu terutama dimaksudkan untuk mengetahui:
Ÿ Bagaimana kedudukan dan peranan kesultanan/sultan serta fungsi keraton pada setiap zaman?
Ÿ Seberapa jauh peranan sultan selaku pemimpin kesultanan dan pemimpin tradisional, baik dalam bidang pemerintahan mupun dalam bidang sosial ekonomi dan budaya pada setiap zaman?
Jawaban atas kedua pertanyaan itu tidak hanya bersifat deskriptif-naratif, tetapi juga bersifat analisis, sehingga dapat dipetik maknanya.
            Hasil penelitian diharapkan memiliki kegunaan praktis bagi pihak kesultanan khususnya dan pihak-pihak lain yang terkait umunya, yaitu sebagai bahan acuan dalam membuat kebijakan untuk menghadapi atau mengatasi permasalahan masa kini dan memprediksi masa yang akan datang.
            Kegunaan hasil penelitian secara umum adalah untuk melengkapi dokumentasi kesejarahan Cirebon, khususnya kesejarahan kesultanan. Hasil penelitian ini juga memiliki arti penting sebagai salah satu referensi bagi para pemandu wisata daerah Cirebon dan para peneliti masalah kesultanan, dan mungkin pula berguna sebagai sumber acuan bagi revitalisasi keraton di Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan.



Bandung, 9 Juni 2013




            Mengenai sejarah Cirebon sudah ada beberapa tulisan. Berdasarkan sifatnya, tulisan-tulisan itu terbagi atas sejarah populer, ilmiah-populer, dan sejarah ilmiah. Namun pada umumnya tulisan-tulisan itu baru merupakan penggalan-penggalan dari sejarah Cirebon periode tertentu dan mengenai aspek tertentu. Tulisan sejarah Cirebon yang bersifat komprehensif hasil penelitian secara ilmiah, hampir belum ada.
            Fakta sejarah menunjukkan, Cirebon semula (sejak tahun 1482) adalah Kerajaan Islam, pusat penyebaran agama Islam di daerah Jawa Barat. Sejak tahun 1677 status Kerajaan Islam Cirebon berubah menjadi kesultanan terbagi atas kesultanan-kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Berarti sampai saat ini kesultanan-kesultanan tersebut memiliki perjalanan sejarah lebih dari tiga abad. Dalam kurun waktu itu, kesultanan di Cirebon mengalami zaman Kompeni, pemerintah Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan.
            Beberapa tulisan memang menyinggung kesultanan di Cirebon. Akan tetapi, bagaimana eksistensi kesultanan dan peranan sultan-sultan Cirebon pada setiap zaman, dapat dikatakan belum terungkap. Pada beberapa tulisan bahkan tahun berdirinya Kesultanan Kasepuhan berbeda-beda.
            Pada zaman penjajahan, sultan memiliki kedudukan dan peranan yang unik. Pada satu sisi, sultan adalah pemimpin kesultanan sekaligus pemimpin tradisional. Pada sisi lain, sultan merupakan objek dari kekuasaan asing. Kedudukan dan peranan sultan sebagai penguasa kesultanan sekaligus sebagai pemimpin tradisional, hampir belum terungkap.
            Oleh karena itu, dalam program revitaslisasi keraton di Cirebon dengan Keraton Kasepuhan sebagai pilot project, hendaknya revitalisasi itu tidak hanya ditujukan pada aspek fisik, tetapi juga pada aspek non-fisik. Dalam berbincang-bincang dengan Sultan Sepuh XIV PRA. Arief Natadiningrat, SE tanggal 4 Juni 2013, beliau menyatakan bahwa aspek non-fisik memang sudah dalam pemikiran beliau. Dalam pemikiran saya, salah satu aspek non-fisik itu adalah eksistensi Kesultanan Kasepuhan pada setiap zaman perlu diteliti.
            Pada setiap zaman yang dialaminya tentu sultan-sultan memiliki pengalaman penting, baik yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai penguasa kesultanan maupun sebagai pemimpin tradisional. Pengalaman para sultan itu penting untuk dikaji, karena totalitas pengalaman manusia di masa lampau sangat berharga untuk dipetik makna dan manfaatnya. Historia Vitae Magistra , ”sejarah adalah guru kehidupan”. Manfaat yang dimaksud adalah sebagai bahan acuan dalam menghadapi kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal itu sesuai dengan cakupan dimensi sejarah, yaitu past – present – future. Kehidupan masa sekarang adalah hasil dan kesinambungan dari masa lampau, dan kehidupan masa mendatang adalah hasil dan kesinambungan masa kini.
     Penelitian itu terutama dimaksudkan untuk mengetahui:
Ÿ Bagaimana kedudukan dan peranan kesultanan/sultan serta fungsi keraton pada  setiap zaman?
Ÿ Seberapa jauh peranan sultan selaku pemimpin kesultanan dan pemimpin tradisional, baik dalam bidang pemerintahan mupun dalam bidang sosial  ekonomi dan budaya pada setiap zaman?
Jawaban atas kedua pertanyaan itu tidak hanya bersifat deskriptif-naratif, tetapi juga bersifat analisis, sehingga dapat dipetik maknanya.
            Hasil penelitian diharapkan memiliki kegunaan praktis bagi pihak kesultanan khususnya dan pihak-pihak lain yang terkait umunya, yaitu sebagai bahan acuan dalam membuat kebijakan untuk menghadapi atau mengatasi permasalahan masa kini dan memprediksi masa yang akan datang.
            Kegunaan hasil penelitian secara umum adalah untuk melengkapi dokumentasi kesejarahan Cirebon, khususnya kesejarahan kesultanan. Hasil penelitian ini juga memiliki arti penting sebagai salah satu referensi bagi para pemandu wisata daerah Cirebon dan para peneliti masalah kesultanan, dan mungkin pula berguna sebagai sumber acuan bagi revitalisasi keraton di Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan.



Bandung, 9 Juni 2013