Jumat, 21 Juni 2013

Ciamis kembalikan lagi ke Galuh



CIAMIS KEMBALIKAN LAGI KE GALUH+
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra*


Latar Belakang
            Menurut naskah/babad berjudul Wawacan Sajarah Galuh, di Tatar Sunda, kata/nama “galuh“ sudah digunakan sejak zaman prasejarah yang ditujukan pada nama ratu, yakni Ratu Galuh yang mendirikan negara/kerajaan di daerah Lakbok dengan nama Bojonggaluh, daerah pertemuan sungai Cimuntur dan Citanduy.
            Perlu dikemukakan, bahwa cerita tentang Ratu Galuh bukan sejarah, melainkan cerita mitos, karena tidak jelas sumbernya, sehingga tidak menyebut waktu peritiwa yang jelas pula. Cerita itu menyebar luas di masyarakat, khususnya masyarakat di Tatar Sunda. Hal itu pada satu sisi menyebabkan kata/nama “galuh“ sudah dikenal oleh masyarakat sejak lama. Pada sisi lain, kata/nama “galuh“ dianggap mengandung daya magis.
Nama ”Galuh” muncul dalam panggung sejarah sejak berdirinya Kerajaan Galuh. Kerajaan ini didirikan oleh seorang tokoh Sunda bernama Wretikandayun pada awal abad ke-7 M. Semula Wretikandayun berkuasa di daerah Kendan (daerah perbukitan di Nagreg sekarang). Daerah Kendan semula termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara. Sejak awal abad ke-7 pamor kerajaan itu makin lama makin pudar, terutama masa pemerintahan Raja Tarusbawa (raja Tarumanagara terakhir, 669-670 M.), Kondisi itu dimanfaatkan oleh Wretikandayun untuk melepaskan Kendan dari kekuasaan Tarumanagara. Upaya Wretikandayun berhasil tanpa menimbulkan konflik dengan penguasa Tarumanagara. Oleh karena Kendan tidak memadai sebagai pusat pemerintahan, maka Wretikandayun memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Karangkamulyan sekarang. Daerah itu dibangun menjadi pusat Kerajaan Galuh. Sementara itu, Tarusbawa mendirikan Kerajaan Sunda sebagai kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara.
            Kemudian terjadi perundingan antara Wretikandayun dengan Tarusbawa mengenai wilayah kekuasaan masing-masing. Perundingan sampai pada kesepakatan, bahwa sungai Citarum menjadi batas wilayah kedua kerajaan. Daerah sebelah barat Citarum menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda, dan daerah sebelah timur Citarum menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh.
            Ketika Kerajaan Galuh diperintah oleh Sanjaya (723-732 M.), sang raja menjadi menantu Raja Sunda Tarusbawa. Hal itu menyebabkan terjadinya penggabungan kedua kerajaan menjadi Kerajaan Sunda-Galuh, sehingga Kerajaan Galuh makin berkembang, bahkan Galuh menjadi pusat budaya Sunda. Pada abad ke-13, Kerajaan Galuh berpusat di Kawali yang dibuktikan oleh adanya Prasasti Kawali di Astana Gede Kawali. Kerajaan Galuh mencapai kejayaan terutama pada masa pemerintahan Maharaja Niskala Wastu Kancana (1371-1475 M.)
            Pada akhir abad ke-16 M. Kerajaan Mataram berupaya untuk menguasai Kerajaan Galuh. Terjadi konflik antara kedua belah pihak, sehingga di beberapa daerah Galuh terjadi tragedi “banjir darah”. Tahun 1595 Kerajaan Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Mataram.
            Pada awal pemerintahan Sultan Agung sebagai raja Mataram (1613), status Kerajaan Galuh diubah oleh penguasa Mataram menjadi setingkat dengan kabupaten. Hal itu ditandai oleh pengangkatan Adipati Panaekan menjadi Wedana Mataram di Galuh (wedana vazal Mataram). Pada zaman kerajaan di Indonesia, pangkat wedana setingkat dengan bupati zaman penjajahan Belanda. Dengan kata lain, sejak awal abad ke-17 itulah, Galuh menjadi kabupaten dengan bupati pertama Adipati Panaekan.
            Kabupaten Galuh pernah mengalami perpindahan ibukota beberapa kali, yaitu dari Panaekan ke Gara Tengah (Cineam), kemudian pindah lagi ke Barunay (Imbanagara). Pemindahan ibukota Kabupaten Galuh dari Gara Tengah ke Barunay terjadi tanggal 12 Juni 1642 M.[1]) (14 Mulud tahun ). Ketika Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni (mulai akhir tahun 1705), terjadi lagi tragedi berdarah di Ciancang (Utama) tahun 1739 yang dikenal dengan sebutan ”Bedah Ciancang”.
Pada awal abad ke-19 ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan lagi ke Cibatu, kemudian ke Burung Diuk. Setelah kota Ciamis berdiri, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan ke kota Ciamis (masa pemerintahan Bupati Wiradikusumah, 1815-1819). Tahun 1916, Bupati R.A.A. Sastrawinata (1914-1936), mengganti nama kabupaten menjadi Kabupaten Ciamis[2]). Pergantian nama Galuh menjadi Ciamis hanya didasarkan pada alasan pribadi Bupati Sastrawinata. Ia tidak mau dianggap keturunan bupati Galuh, karena ia adalah keturunan langsung bupati Karawang[3]).
            Paparan di atas mengenai Kerajaan Galuh yang kemudian berubah menjadi Kabupaten Galuh – meskipun secara garis besar – menunjukkan bahwa Galuh digunakan sebagai nama pemerintahan dan wilayah berlangsung sangat lama, lebih-kurang 13 abad (awal abad ke-17 hingga awal abad ke-20). Oleh karena itu, tidak heran bila nama Galuh terpatri secara kuat dalam hati/pikiran orang Galuh ampai sekarang.


Alasan Pengembalian Nama Galuh
1)  Arti dan Makna Galuh
            Kata ”galuh” dalam bahasa Sansekerta memiliki dua pengertian. Pertama, salah satu jenis permata. Kedua, dalam lingkungan kerajaan (di Indonesia), nama “Galuh” biasa ditujukan pada putri raja yang masih lajang, tetapi sudah turut dalam pemerintahan.
            Dalam kehidupan masyarakat Sunda, kata ”galuh” memiliki arti yang sama dengan ”galeuh”, yaitu bagian tengah (inti) pohoh/kayu berwarna kehitam-hitaman dan keras, bukan galeuh yang berarti beli. Kata ”galuh” juga dipahami identik dengan “galih” (kolbu), sehingga ada ungkapan dalam bahasa Sunda, ”Galuh galeuhna galihi” (“Galuh intinya hati”). Ungkapan itu menunjukkan bahwa nama/kata ”galuh” memiliki makna filosofis.
            Uraian latar belakang menunjukkan bahwa nama Galuh memiliki nilai historis tinggi, karena nama itu digunakan sebagai nama pemerintahan (kerajaan dan kabupaten) berikut wilayahnya dalam kurun waktu sangat lama. Eksistensi kerajaan dan kabupaten bernama Galuh, diikuti oleh corak kehidupan masyarakat yang merupakan budaya Galuh.
            Kondisi itu mendorong Prabu Haurkuning – keturunan raja Galuh -- menciptakan ilmu bersifat falsafah yang disebut Elmu Kagaluhan Haurkuning. Inti ilmu/falsafah itu adalah prinsip dalam kehidupan manusia.
Hirup kumbuh téh kudu didasaran ku silih asih. Ananging hirup téh teu cukup ku asih baé, tapi kudu dipirig ku budi pekerti anu hadé. Kudu aya pamilih antara hadé jeung goréng. Ari nu sok kaseungitkeun teh taya lian anging anu berbudi”.
(Hidup bermasyarakat harus dilandasi oleh kasih-mengasihi. Namun tidak cukup semikian, tetapi harus disertai pula oleh budi pekerti yang baik. Harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang jelek. Orang berbudi baik, namanya akan ”harum”).
            Pada Prasasti Kawali I ada kalimat penutup yang berbunyi:
Pakéna gawé rahayu pakeun heubeul jaya di buana
Kalimat itu merupakan bagian dari Falsafah Kagaluhan yang berupa amanat leluhur Galuh, karena arti kalimat itu adalah ”harus membiasakan berbuat/melakukan hal-hal yang baik, agar lama berjaya di dunia”. Kiranya atas dasar itulah, maka kalimat penurup prasasti tersebut digunakan menjadi motto Pemda Kabupaten Ciamis.
            Simpulan dari uraian tersebut adalah nama/kata Galuh memiliki arti yang baik, bernilai historis tinggi, memiliki makna filosofis, dan dianggap mengandung daya magis. Bagaimana halnya dengan nama Ciamis?


2) Nama Ciamis
            Nama Ciamis juga bernilai historis, karena sejak awal abad ke-20 sampai sekarang digunakan sebagai nama kabupaten. Namun nama/kata Ciamis tidak memiliki arti dan makna yang jelas dan dalam seperti nama/kata Galuh.
            Secara etimologis, kata Ciamis berasal dari ”ci” dan ”amis”. Kata “ci” singkatan dari cai yang berarti air. Di Tatar Sunda kata itu memang banyak atau lazim digunakan sebagai bagian depan/awal nama tempat. Namun, kata ”amis” dalam Ciamis, bukan ”amis” dalam bahasa Sunda yang berarti rasa manis. Sumber tradisional yang memuat data Kerajaan Galuh menunjukkan bahwa ”amis” dalam nama Ciamis adalah ”amis” dalam bahasa Jawa yang berarti ”anyir”.
Sebutan ”anyir” itu berkaitan dengan tragedi di daerah Galuh – seperti telah disebutkan – yang mengakibatkkan ”banjir darah”. Tegasnya, ”amis” yang dimaksud adalah bau amis darah manusia, korban dalam tragedi. Katanya, sebutan ”amis” yang ditujukan pada darah manusia itu dilontarkan oleh wakil penguasa Mataram ketika mengontrol daerah Galuh tidak lama setelah di Galuh terjadi tragedi ”banjir darah”. Berarti sebutan ”ciamis” pada awalnya merupakan cemoohan dari orang Jawa pihak Mataram. Informasi itu beralasan untuk dipercaya, karena bila kata ”ciamis” dimunculkan oleh Sunda, tentu ”amis” dalam kata itu berari rasa manis atau amis yang bermakna baik. Misal, ungkapan ”amis budi”, ”adu manis” dan lain-lain.
Apakah nama Ciamis yang mengandung cemoohan/ejekan itu akan terus dipertahankan?
Sampai saat, saya belum menemukan sumber akurat yang memuat penjelasan lain mengenai pengertian nama/kata Ciamis. Demikian pula tujuan penggantian nama Galuh menjadi Ciamis, tidak jelas. Seperti telah dikemukakan, nama Galuh diganti menjadi Ciamis oleh Bupati Sastrawinata. Alasannya, ia tidak mau dianggap keturunan bupati Galuh, karena ia adalah keturunan langsung bupati Karawang. Padahal ia masih keturunan bupati Galuh. Dengan demikian, alasan Bupati Sastrawinata menganti nama Galuh menjadi Ciamis adalah alasan yang tidak tepat.
Mengapa nama Ciamis terus digunakan? Dari perspektif sejarah, hal itu terjadi karena masyarakat kita umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah. Mayarakat awam umumnya mengartikan atau memahami sejarah sama dengan dongeng.


3) Nama Galuh Dalam Kehidupan Masyarakat
Telah disebutkan bahwa nama Galuh terpatri (nyantél) secara kuat dalam hati/pikiran orang Galuh ampai sekarang. Disadari atau tidak, hal itu disebabkan oleh nilai dan makna yang dimiliki oleh kata Galuh, yaitu nilai historis yang tinggi, makna filosofos yang dalam, dan daya magis.
            Bahwa nama Galuh sudah demikian terpatri dalam hati dan pikiran orang Galuh, ditunjukan oleh pemakaian kata Galuh menjadi nama lembaga, organisasi/perkumpulan, nama perusahaan, dan lain-lain.
Contoh antara lain:
Ÿ Tokoh-tokoh yang masih merupakan keturunan Bupati Galuh tempo dulu membentuk perkumpulan dengan nama Paguyuban Rundayan Galuh Pakuan.
Ÿ Sejumlah tokoh masyarakat Tatar Galuh mendirikan perguruan tinggi dengan nama Universitas Galuh.
Ÿ Mahasiswa asal Galuh menamakan perkumpuplannya ”Galuh Taruna”.
Ÿ Mahasiswa asal Galuh yang studi di Yogyakarta tinggal di Asrama Mahasiswa Galuh.
Ÿ Orang-orang Galuh di perantauan membentuk organisasi dengan nama ”Wargi Galuh” di Bandung, Paguyuban Wargi Galuh di Jakarta, Galuh Rahayu di Yogyakarta, Galuh Pamitran di Purwokerto, dengan pusat di Bandung, sehingga organisasi di Bandung disebut ”Wargi Galuh Puseur”.
Ÿ Stadion olah raga diberi nama Stadion Galuh.
Ÿ Di beberapa tempat, Galuh dijadikan nama kegiatan usaha skala besar dan kescil, seperti PT Pratama Galuh Perkasa, Toko Galuh, Bengkel Motor Galuh, dan lain-lain.
Ÿ Pemda Ciamis sendiri nenamakan wilayahnya dengan sebutan Tatar Galuh. Sebutan ini antara lain ditulis pada spanduk yang dipasang pada jembatan besi di daerah perbatasaan dengan Tasikmalaya. Tulisan itu berbunyi ”Selamat Datang di Tatar Galuh”.
Ÿ Tanggal 18 Juli 2010 berlangsung peresmian berdirinya museum dengan nama Museum Galuh Pakuan.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa orang Galuh pada dasanya lebih senang menggunakan nama Galuh daripada nama Ciamis. Dengan kata lain, penggunaan nama Galuh diterima oleh masyarakat. Pada sisi lain, hal itu mencerminkan bahwa orang pituin (asli) Galuh berupaya untuk memelihara jati diri, sehingga nama Galuh dijadikan identitas dirinya.
            Mengapa Pemerintah Kabupaten Ciamis tidak/kurang tanggap terhadap kondisi tersebut?


4) Aspirasi Masyarakat
            Contoh penggunaan nama Galuh dalam kehidupan masyarakat, secara tersirat mencerminkan aspirasi masyarakat akan digunakannya kembali nama Galuh secara resmi di bidang pemerintahan. Kondisi itu telah mendorong munculnya aspirasi masyarakat akan tersebut secara tersurat. Tahun 1998 sejumlah tokoh masyarakat diwakili oleh Didi Ruswendi menggulirkan wacana penggantian nama Ciamis kembali menjadi Galuh. Bulan Juni tahun 2000 majalah Manglé memuat tulisan Achmad Dase berjudul ”Ciamis Rawuh ka Galuh”. Selaku sejarawan pituin Galuh, penulis pun menyampaikan pemikiran yang sama dalam bentuk tulisan berjudul ”Ciamis Pulangkeun Deui ka Galuh”, dimuat dalam tabloid Galura (November 2003 dan majalah Cupumanik (Maret 2004).
            Gagasan mengenai pengembalian nama Ciamis ke Galuh mencuat lagi dalam acara peresmian berdirinya Museum Galuh Pakuan di Kompleks Makam Jambansari tanggal 18 Juli 2010. Gagasan itu disambut baik dalam arti disetujui oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Dede M. Yusuf.
            Setelah gagasan itu diekspos dalam media massa, timbul sikap pro-kontra di kalangan masyarakat. Pihak yang kontra terhadap gagasan itu, alasan utamanya hanya mengenai kerugian yang bakal terjadi, yaitu penggantian kop surat, papan nama lembaga-lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, dan hal tertentu menyangkut urusan admininistrasi. Dari kalangan yang kontra, ada yang mempertanyakan, apakah penggantian nama itu akan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat? Rupanya pihak yang kontra tidak mengetahui bahwa perubahan nama daerah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 1 dan 2, Tentang Pemerintah Daerah. Pasal itu antara menyatakan:
”..... perubahan nama daerah bisa dilakukan atas usul dan persetujuan daerah yang bersangkutan”.
Berdasarkan undang-undang itulah, nama Ujung Pandang kembali menjadi Makasar dan Irian kembali menjadi Papua.
            Dalam kenyataan di lapangan, ternyata warga masyarakat yang pro terhadap penggantian nama Ciamis kembali menjadi Galuh lebih banyak daripada yang kontra. Hal ini antara lain diberitakan dalam koran Pikiran Rakyat 20 Juli 2010. Dalam internet pun bermunculan tulisan-tulisan yang intinya menyetujui gagasan tersebut. Hal itu menunjukkan aspirasi mayoritas warga masyarakat akan pengembalian nama Ciamis menjadi Galuh.

PENUTUP
            Bila nilai dan makna Galuh dipahami secara seksama dan dibandingkan dengan asal-usul nama Ciamis, gagasan atau harapan dikembalikannya nama Ciamis menjadi Galuh, bukan primordialisme dan bukan pula subyektif kesukuan. Secara umum, pengembalian nama itu diharapkan dapat membangkitkan ”semangat kagaluhan”, semangat untuk mempererat persatuan dan kesatuan warga Galuh, sehingga segala potensi Galuh menunjang pengembangan Tatar Galuh dan masyarakatnya. Hal itu kiranya sejalan dengan kebanggaan warga masyarakat umumnya akan pamor nama Galuh.
            Oleh karena itu, sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, seyogyanya DPRD Kabupaten Ciamis menyambut baik (menyetujui) aspirasi mayoritas warga untuk mengganti nama Ciamis kembali menjadi Galuh. Digunakannya kembali nama Galuh, diharapkan budaya Galuh pun akan ”bersinar” kembali.
            Dalam konteks tersebut, saya pikir tidak berlebihan, bahkan pada tempatnyalah apabila Unigal berperan sebagai garda paling depan dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat, karena Unigal adalah ”milik” masyarakat. Unigal pula yang sebaiknya mengolah usulan pengembalian nama Ciamis menjadi Galuh, karena usulan itu harus bermuatan ilmiah, selain bersifat rasional, karena Unigal memiliki program studi sejarah, hukum, dan politik. Disiplin ilmu-ilmu itu diperlukan untuk melandasi usulan tersebut. Dalam prakteknya, tentu pihak Unigal harus bekerjasama/ mengikutsertakan wakil-wakil tokoh masyarakat dari berbagai kalangan.
            Bila Unigal berhasil memainkan peranan sebagai garda paling depan dalam upaya pengembalian nama Ciamis menjadi Galuh, kiranya pamor Unigal akan makin bersinar seperti Galuh dalam arti permata, sehingga Unigal makin dicintai oleh masyarakat.  Semoga!

SUMBER ACUAN



Anonim. 2010.
            ”Dukungan Perubahan Nama Semakin Luas”. Pikiran Rakyat, 20 Juli 2010.
--------. 2010.
”Wacana Kab. Ciamis Jadi Kab. Galuh; Dukungan Perubahan Semakin Luas”. PRLM, 20 Juli 2010. http://islam-kucinta.blogspot.com. Posted by Admin.
Dase, Achmad. 2000.
            ”Ciamis Rawuh Ka Galuh”. Mangle, No, 1765, 15 Juni 2000.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2003.
Sejarah Galuh Abad ke-7 s.d. Pertengahan Abad ke-20. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
--------. 2003
            ”Ciamis Pulangkeun Deui Ka Galuh”. Galura, November 2003.
--------. 2004.
Semangat Kegaluhan Dan Maknanya Dalam Perspektif Sejarah. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
Mustafid. 2010.
”Wagub Setuju Perubahan Nama Kab. Ciamis Menjadi Galuh”. Tribun, 19 Juli 2010.
--------. 2010.
”Semangat Kegaluhan di Perantauan; Galuh Sebagai Identitas Diri”. http://priangan-online.com, 22 Juli 2020.
Sofiani, Yulia. 2012.
R.A.A. Kusumadiningrat & R.A.A. Kusumasubrata; Gaya Gidup Bupati-Bupati Galuh 1839-1914. Yogyakarta: Ombak.



+ Makalah dalam seminar sehari di Kampus Unigal, 18 Mei 2012.
* Guru Besar Ilmu Sejarah, Unpad dan Unigal.
[1]) Berarti tanggal 12 Juni 1642 bukan Hari Jadi Kabupaten Ciamis dan bukan pula Hari Jadi Kabupaten Galuh.
[2]) Sumber lain menyebutkan peristiwa itu terjadi tahun 1915.
[3]) Rupanya Bupati Sastrawinata tidak mengetahui, bahwa Adipati Singaperbangsa I bupati Karawang pertama adalah keturunan bupati Galuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar