Sabtu, 22 Juni 2013

Citarum Tempo Dulu

CITARUM TEMPO DULU
A. Sobana Hardjasaputra


 


 
          Sejak dulu, setiap musim hujan, sungai Citarum selalu banjir. Namun banjir Citarum tempo dulu cukup terkendali oleh kondisi aliran sungai itu sendiri. Hal itu tersirat dalam sumber-sumber sejarah Jawa Barat. Sebaliknya, banjir Citarum sekarang merusak pemukiman dan areal pertanian di DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum, bahkan bajir sungai itu kadang-kadang merenggut korban manusia. Hal itu disebabkan Citarum sekarang adalah tempat yang memprihatinkan. Sekarang sungai itu airnya kotor dan tercemar oleh limbah pabrik, sampah dan kotoran lain. Pencemaran air sungai diperparah lagi oleh tindakan pencari ikan di sungai itu yang menggunakan portas. Dibeberapa tempat aliran sungai menjadi dangkal dan menyempit akibat sampah yang mengendap dan akibat erosi, antara lain di hulu sungai. Tanah di bantaran sungai longsor akibat hutan tidak lagi sepenuhnya berfungsi sebagai resapan air, karena hutan rusak oleh tindakan manusia.
          Bahwa kondisi Citarum memprihantinkan, bukan hanya pernyataan Bapak Eka Santosa selaku Ketua Umum Satgas DAS Citarum, tetapi kondisi sungai demikian itu sudah diketahui secara umum, karena banjir Ciatrum selalu diekspos dalam media masa, baik media cetak maupun elektronik.
          Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah dan sedang berupaya untuk menanggulangi banjir Citarum. Hal itu antara lain ditunjukan oleh pembentukan (pengukuhan) pengurus Forum DAS Citarum. Sasaran forum adalah mewujudkan ”Citarum Bersih 2018”. Aturan operasionalnya menyangkut hak dan kewajiban semua pihak dan sanksi bila terjadi pelanggaran terhadap DAS Citarum. Oleh karena itu, pelaksanaan operasionalnya akan melibatkan pakar, pengusaha, akademisi, masyarakat, dan LSM (PR, 7 Februari 2013).
          Dalam rangka upaya mewujudkan ”Citarum Bersih 2018”, ada baiknya bila kita mengetahui bagaimana kondisi Citarum dan memahami pemeliharaannya tempo dulu. Dasar pemikirannya adalah, sejarah memuat pengalaman-pengalaman penting manusia di masa lampau. Totalitas pengalaman itu penting untuk dipetik manfaatnya guna dijadikan bekal dalam menghadapi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Atas dasar itulah adanya ungkapan “Sejarah adalah guru kehidupan” (“Historia Vitae Magistra”). Dalam salah satu ceramahnya, Syafrudin Prawiranegara (almarhum), mantan pemimpin/ presiden PDRI, menyatakan “Sejarah adalah pedoman untuk bangun masa depan”.
          Citarum adalah sungai terbesar dan terpanjang di daerah Jawa Barat (± 225 kilometer). Sungai ini berhulu di Cisanti lereng Gunung Wayang – salah satu anak Gunung Malabar – daerah Bandung Selatan. Alur sungai melalui cekungan Bandung ke arah utara melalui daerah kabupaten-kabupaten Bandung, Cianjur, Purwakarta, dan Karawang, bermuara di Laut Jawa, tepatnya di daerah Ujung Karawang.
          Sungai Citarum bukan hanya alurnya yang panjang, tetapi juga memiliki sejarah yang panjang. Berdasarkan data geologi, sebelum daerah Jawa Barat dihuni oleh manusia prasejarah, sungai yang kemudian bernama Citarum sudah ada. Pada Zaman Holosen (± 6000 tahun sM.) aliran sungai Citarum purba di daerah Cimeta (Padalarang) tersumbat oleh lahar dari letusan Gunung Sunda. Lama kelamaan air sungai itu merendam daerah yang sangat luas, yaitu daerah Padalarang hingga Cicalengka (± 30 kilometer) serta daerah antara Lembang dan Soreang (± 50 kilometer), sehingga daerah-daerah itu menjadi “Danau Raksasa Bandung Purba” dalam jangka waktu lama. Surutnya air danau itu secara bertahap, juga melalui sungai Citarum.

Arti penting Citarum
          Citarum tempo dulu bukan hanya memiliki fungsi sosial, tetapi juga fungsi ekonomi. Sejak daerah Jawa Barat menjadi tempat kehidupan manusia prasejarah dan sampai sekarang, Citarum memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
          Zaman prasejarah, DAS Citarum dihuni oleh manusia, terutama setelah mereka memiliki budaya tinggal menetap di suatu daerah (mulai akhir zaman Megalitikum, budaya batu besar). Hal itu ditunjukan oleh peninggalan budaya mereka berupa situs-situs prasejarah, antara lain di daerah Cibuaya (Karawang) dan Gua Pawon di daerah Padalarang. Situs-situs itu berlokasi di bantaran sungai Citarum. Mereka memilih tempat itu karena sungai penting artinya bagi kehidupan dan mata pencaharian, yakni menangkap ikan. Oleh karena itu mereka menjaga kelestarian sungai.
          Pada zaman Kerajaan Tarumanagara (abad ke-4 – abad ke-7) dan Kerajaan Sunda/Pajajaran (abad ke-7 – abad ke-16), arti atau fungsi sungai Citarum makin bertambah penting. Sebagian rakyat kedua kerajaan itu kegiatan utamanya (mata pencaharian) adalah bertani, menangkap ikan, dan berburu. Tentu kegiatan itu berkaitan dengan sungai dan hutan.
          Purnawarman, raja Tarumanagara yang paling terkenal, sangat memperhatikan sungai Citarum bagi kepentingan kehidupan kerajaan dan rakyatnya. Hal itu disebabkan pusat Tarumanagara berada di bantaran sungai itu, sehingga dapat dikatakan, Citarum merupakan “urat nadi” Kerajaan Tarumanaga. Atas dasar itu pula Tarumanagara dijadikan nama kerajaan. Purnawarman memerintahkan rakyatnya dipimpin oleh para brahmana untuk membuat dua saluran air dari sungai Citarum ke pusat kerajaan dan pemukiman rakyat, dengan dua tujuan utama. Pertama, untuk kepentingan kehidupan lingkungan keraton dan rakyat. Kedua, untuk prasarana transportasi dari dan ke pusat kerajaan. Dalam sumber sejarah kedua saluran air yang merupakan anak sungai Citarum, masing-masing disebut Kali Gomati dan Chandrabhaga. Oleh karena Purnawarman sangat besar perhatiannya terhadap sungai tersebut, setelah meninggal ia dipusarakan (dimakamkan) di tepi Citarum, sehingga ia dijuluki “Sang Lumahing Tarumanadi” (Yang dipusarakan di Citarum).
          Setelah Kerajaan Tarumanagara lenyap, berdiri Kerajaan Galuh (awal abad ke7) dan Kerajaan Sunda akhir abad ke-7. Bagi kedua kerajaan itu, Citarum juga memiliki arti penting. Selain untuk kehidupan dan kegiatan pertanian, Citarum menjadi batas wilayah kedua kerajaan.
Sungai Citarum sebagai batas wilayah Kerajaan Sunda dan Galuh
Citarum sebagai batas wilayah juga terjadi setelah berdiri Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Daerah sebelah timur Citarum menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon dan daerah sebelah baratnya menjadi wilayah Kesultanan Banten.
          Fungsi sungai Citarum sebagai prasarana transportasi terus berlangsung sampai zaman selanjutnya, paling tidak sampai abad ke-19. Hal itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Bupati Bandung pertama Tumenggung Wiraangunangun memilih Krapyak/Citeureup (sekarang Dayeuhkolot) sebagai ibukota kabupaten, karena tempat itu berada di daerah tepian Citarum, dekat muara sungai Citarik.
          Ketika daerah Priangan berada di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), di daerah itu Kompeni menyelenggarakan sistim penanaman wajib tanaman tertentu yang hasilnya sangat diperlukan untuk perdagangan. Sistim itu dalam bahasa Belanda disebut Preangerstel (Sistim Priangan). Tanaman utama yang diwajibkan adalah kopi. Setelah kekuasaan Kompeni berakhir, kekuasaan di Nusantara beralih ke pemerintah Hindia Belanda mulai awal abad ke-19.
          Pemerintah Hindia Belanda yang diawali oleh pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811) meneruskan dan mengembangkan Preangerstelsel, terutama penanaman kopi, karena hasil penjualan komoditi itu sangat menguntungkan pihak kolonial. Waktu itu di daerah Priangan sudah berdiri beberapa kabupaten, antara lain Galuh, Bandung, Cianjur dan Karawang.
          Setiap kali setelah panen kopi, sungai Citarum memiliki arti penting sebagai prasarana untuk pengakutan kopi. Waktu itu, sebagian biji kopi dari Priangan diangkut ke Batavia melalui sungai Citarum, tentu dengan menggunakan perahu. Kembali dari daerah Batavia, perahu-perahu itu mengangkut garam untuk disalurkan ke gudang-gudang garam yang ada di beberapa kota distrik (kewedanaan).
          Arti penting lainnya sungai Citarum adalah menjadi tempat penyeberangan orang berikut barang bawaannya. Di tempat tertentu, antara lain di daerah Rajamandala, penyeberangan melewati sungai Citarum dilakukan dengan rakit yang diikatkan pada tambang yang membentang dari tepi sungai ke seberangnya. Sampai sekarang pun penyeberangan di sungai itu masih berlangsung di beberapa tempat.
          Meskipun mulai awal tahun 1880-an daerah Priangan sudah dilewati oleh jalur kereta api, namun sungai Citarum tetap berfungsi sebagai prasarana bagi pengakutan kopi dari daerah pedalaman. Dari pelabuhan sungai, kopi diangkut dengan pedati ditarik kerbau ke halte atau stasion kereta api yang tidak terlalu jauh dari pelabuhan sungai.
          Uraian tersebut menunjukkan bahwa pada zaman penjajahan Belanda pun, pemerintah kolonial memperhatikan dan memelihara sungai Citarum.


Pemeliharaan Citarum
          Sumber sejarah kerajaan di Jawa Barat secara tersirat memuat informasi tentang pemeliharaan Citarum tempo dulu. Kerajaan Tarumanagara, Galuh, dan Sunda berserta rakyatnya, terutama rakyat yang tinggal di DAS Citarum memelihara kelestarian sungai itu, sejalan dengan arti pentingnya, seperti yang telah disebutkan.
          Pada zaman penjajahan Belanda, terutama pada abad ke-19, pemeliharaan sungai tidak terpisahkan dari pemeliharaan hutan. Dalam pemeliharaan sungai dan hutan, bupati mewarisi dua hak istimewa raja, yaitu hak menangkap ikan di sungai dan hak berburu rusa di hutan.
          Di daerah Priangan/Jawa Barat, kedua hak istimewa bupati itu biasa dilaksanakan di sungai Citarum dan hutan di kawasan hulu sungai tersebut. Dalam kenyataannya, bukan bupati yang menangkap ikan di suatu lubuk sungai atau berburu rusa di hutan, melainkan rakyat. Dalam acara menangkap ikan, bupati hanya menonton di pasanggrahan yang sengaja dibangun di tepi lubuk. Penangkapan ikan dilakukan oleh sejumlah rakyat, diiringi oleh bunyi gamelan. Dalam acara berburu, bupati hanya menonton di pasanggrahan yang dibangun di daerah perburuan. Perburuan rusa dilaksanakan oleh sejumlah pamatang atau paninggaran (ahli berburu di hutan).
          Bila ditelaah, kedua hak istimewa bupati tersebut mengandung kearifan. Pada zaman kolonilal, pelakanaan kedua hak istimewa itu mengandung dua tujuan utama. Pertama, untuk memelihara kelesstarian sungai dan hutan. Dengan adanya hak istimewa bupati itu, rakyat, diperintah atau tidak oleh bupati, secara gotong-royong memelihara kelestarian sungai dan hutan, sehingga hutan yang biasa dijadikan tempat berburu dalam pelaksanaan hak istimewa bupati, disebut leuweung tutupan (hutan larangan), dalam arti hutan itu tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang tanpa izin bupati. Oleh karena itu, rakyat tidak berani melakukan perambahan hutan. Perlu dikemukakan, di daerah Kecamatan Kawali (daerah Ciamis utara), kegiatan gotong-royong membersihkan sungai yang airnya antara lain diperlukan untuk kegiatan pertanian sawah di beberapa tempat, berlangsung sampai awal tahun 1960-an.
          Tujuan kedua dari pelaksanaan kedua hak istimewa bupati itu adalah untuk menghibur rakyat yang sedang berada di bawah penjajahan bangsa asing. Dalam hal ini, ikatan budaya feodal antara bupati dan rakyat memiliki dampak positif. Oleh karena itu, pemerintah kolonial tidak mengganggu atau menghapuskan kedua hak istimewa bupati tersebut.
          Telah disebutkan bahwa di daerah Priangan, pemerintah kolonial (pemerintah Hindia Belanda) meneruskan sistim penanaman wajib kopi warisan Kompeni. Untuk kepentingan pengangkutan kopi hasil panen, sungai Citarum di daerah tertentu, antara lain di daerah Cianjur, dikeruk agar sungai itu dapat dilayari oleh perahu ukuran cukup besar. Sementara itu, tepian sungai di beberapa tempat, antara lain di Cikao (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purwakarta), dijadikan pelabuhan sungai.
          Pada zaman kolonial, pemeliharaan hutan di daerah Jawa Barat juga dilakukan oleh para pengusaha perkebunan kina, teh, dan karet. Dalam waktu tertentu orang Belanda/Eropa pengusaha perkebunan, disertai oleh beberapa orang pribumi, mengontrol areal hutan sambil berburu harimau. Pihak pemerintah pun mengadakan pejabat yang disebut controleur – pejabat bawahan asisten residen – dengan tugas utama memeriksa kondisi perkebunan dan hutan di sekitarnya.
          Kebijakan bupati dan pihak kolonial itu menyebabkan kondisi hutan dan sungai Citarum lestari. Aliran sungai itu lancar dan airnya bersih, kecuali di musim hujan air sungai menjadi keruh.

Kondisi aliran Citarum tempo dulu (di daerah Rajamandala?)
Tampak air sungai cukup bersih
Pada musim hujan, memang sejak dulu Citarum selalu banjir. Namun banjir Citarum tempo dulu cukup terkendali karena air sungai mengalir tanpa banyak hambatan, sehingga banjir sungai itu tidak banyak menimbulkan kerugian. Dampak negatif dari banjir Citarum tempo dulu adalah munculnya wabah penyakit di kalangan penduduk yang tinggal di DAS Citarum. Hal itu menjadi salah satu faktor yang mendorong R.A. Wiranatakusumah II, Bupati Bandung periode 1794-1829, akhir tahun 1810 memindahkan ibukota Kabupaten Bandung dari Krapyak ke kota Bandung sekarang, sejalan dengan pembangunan Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang melewati daerah Bandung bagian tengah.
          Uraian tentang arti pentingnya Citarum dan pemeliharaannya berdasarkan data sejarah, meskipun singkat, kiranya pantas untuk dipetik maknanya, sebagai tambahan bahan pemikiran dalam membuat kebijakan untuk mewujudkan Citarum bersih dan terpelihara. Bagaimana langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah daerah, agar warga masyarakat benar-benar turut menunjang upaya pemerintah, dilandasi oleh kesadaran dan pemahaman akan arti penting sungai Citarum bagi kehidupan masa kini dan masa mendatang. Semoga!




Bandung, 7 Februari 2023

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Sejarah
Unpad dan Unigal (Univ. Galuh).

1 komentar:

  1. hayu urang jaga citarum kusadayana "sauyunan sabilulungan'' ....

    BalasHapus