Sabtu, 22 Juni 2013

Reboisasi dengan kopi, mengapa tidak?




REBOISASI DENGAN KOPI MENGAPA TIDAK?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
A. Sobana Hardjasaputra


Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sebagian besar hutan di Jawa Barat, termasuk di daerah Kabupaten Bandung, sekarang ini dalam keadaan rusak akibat ulah sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab. Kerusakan hutan menyebabkan tanah longsor dan banjir besar di musim hujan. Selain mengakibatkan tanaman pertanian rusak, tanah longsor dan banjir itu kadang-kadang merenggut jiwa manusia.
Dalam menanggulangi kerusakan hutan, Pemkab Bandung membuat program reboisasi, dan program itu telah dilaksanakan dengan menanam tanaman buahbuahan (advokat, durian, kesemek, dan lain-lain). Akan tetapi, pelaksanaan program reboisasi itu tidak ditunjang oleh biaya pemeliharaan, dan diikuti oleh pengelolaan yang berkelanjutan. Akibatnya, program itu menjadi tidak efektip. Bibit tanaman menjadi rusak, karena tidak diurus, bahkan terjadi pencabutan bibit tanaman oleh oknum perambah hutan. Hal itu dinyatakan oleh Yeyet Sukayat, Wakil Ketua Gerakan Pramuka Tingkat Kabupaten Bandung Bidang Penghijauan beberapa waktu yang lalu. Hal senada juga dikatakan oleh Didin Rosidin, Sekretaris Eksekutif Forum Peduli Citarum (FPC). Bibit tanaman buah-buahan sebanyak 30.000 pohon yang ditanam oleh Gerakan Pramuka di 43 kecamatan di Kabupaten Bandung, 70 persen di antaranya rusak (PR, 19 Maret 2004)

Mengapa kopi?
Dalam upaya mengganti tanaman reboisasi yang rusak itu, ada baiknya apabila Pemkab Bandung mempertimbangkan tanaman kopi sebagai tanaman reboisasi utama. Mengapa kopi? Sejarah Priangan menunjukkan bahwa sejak akhir abad ke-18, daerah Bandung merupakan pusat produsen kopi di Priangan. Setelah daerah Priangan dikuasai oleh Kompeni (sejak tahun 1677), Kompeni memberlakukan penanaman wajib di Priangan, terutama kopi, dalam sistem yang disebut Preangerstelsel (Sistem Priangan). Penanaman wajib kopi di Priangan mulai dirintis tahun 1707. Tahun 1789 perkebunan kopi di daerah perbukitan Bandung berhasil dengan baik. Menurut ilmu pertanian, memang daerah perbukitan Bandung, baik kesuburan tanah maupun ketinggiannya dari permukaan laut (dpl), sangat cocok untuk menanam kopi.
Penanaman kopi di Priangan dengan Bandung sebagai pusatnya, dilanjutkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada dekade pertama abd ke-19, pohon kopi tua di daerah Bandung hampir mencapai jumlah 3 juta pohon. Penanaman dan pemeliharaan pohon kopi itu dikoordinir oleh pejabat pemerintah kabupaten di bawah pimpinan bupati. Dengan demikian, pohon kopi terpelihara dan hutan pun lestari, karena di antara petak-petak kebun kopi ditanam pohon-pohon besar sebagai pohon pelindung. Kelestarian hutan waktu itu juga berkaitan erat dengan hak istimewa bupati untuk berburu di hutan, sehingga rakyat tidak berani mengganggu hutan.
Meskipun perkebunan kopi itu milik pemerintah, tetapi karena yang menanam dan memeliharanya adalah petani, maka hasil panen kopi itu dibeli oleh pemerintah. Pada awal abad ke-19, satu pikul (225 pon atau 112,50 kilogram) kopi dibeli oleh pemerintah dengan harga 10 gulden. Dari penjualan setiap pikul kopi, bupati memperoleh persentase sebesar 1 ringgit (2,50 gulden). Pada waktu yang sama, harga padi di Priangan rata-rata 5 gulden per caƩng ringan (620 kilogram). Berarti, dari penjualan satu pikul kopi, petani dapat membeli padi sebanyak 1.240 kilogram padi. Pada waktu itu, produksi kopi dari Bandung khususnya dan Priangan umumnya diekspor ke Amerika. Hal itu berarti, penanaman wajib kopi bukan hanya menguntungkan pemerintah, tetapi jerih payah petani kopi pun mendapat imbalan
yang memadai.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A.A. Wiranatakusumah IV (1846 – 1874), produksi kopi di daerah Bandung meningkat pesat, sehingga Bandung merupakan “gudang kopi” di Priangan. Keberhasilan itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Bupati R.A.A. Wiranatakusumah IV memperoleh “bintang jasa”, yaitu “Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw” dari pemerintah kolonial. Oleh karena itu ia mendapat julukan “Dalem Bintang” dari masyarakat pribumi. Waktu itu, Bupati R.A.A. Wiranatakusumah IV adalah bupati yang memperoleh persentase penjualan kopi terbesar jumlahnya di antara bupati-bupati lain di Priangan, sehingga waktu itu ia merupakan bupati terkaya di Priangan, mungkin pula di Jawa Barat. Produksi kopi daerah Bandung makin meningkat setelah pemerintah memberlakukan Agrarischewet (Undang-Undang Agraria) tahun 1870. Sejak tahun 1871 sistem penanaman kopi diubah menjadi sistem penanaman bebas. Pohon-pohon kopi di perkebunan diberikan kepada petani menjadi miliknya. Petani bebas menurut keinginan dan kemampuannya menanam kopi pada lahan garapannya, dan lahan itu bebas pajak. Oleh karena itu, para petani kopi makin semangat mengurus tanaman itu, agar mereka memperoleh hasil panen yang banyak. Memang kebijakan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan produksi kopi. Untuk mendorong gairah petani, harga kopi juga ditingkatkan, dari 10 gulden menjadi 13 gulden per pikul. Penanaman kopi di Priangan yang berlangsung sampai dengan awal abad ke- 20, sangat kuat mewarnai kehidupan masyarakat pribumi. Sampai-sampai masyarakat Sunda menggunakan istilah “ngopi”, bukan hanya pada minuman kopi, tetapi ditujukan pula pada penganan yang disuguhkan kepada pekerja. Hal itu berlangsung sampai sekarang.
Setelah mengetahui bagaimana manfaat penanaman kopi bagi penghijauan dan pelestarian hutan, serta dampaknya bagi kesejahteraan rakyat, timbul beberapa pertanyaan. Mengapa budaya penamaman kopi yang berlangsung sekian lama, sehingga Bandung merupakan “gudang kopi”, sekarang musnah tanpa bekas dan pemerintah tidak menaruh perhatian terhadap hal tersebut? Kiranya hal itu sungguh suatu hal yang ironis, karena kesuburan lahan perbukitan dan ketinggian lahan Bandung, realtif tidak berubah. Oleh karena itu, reboisasi hutan di Bandung dengan tanaman kopi, mengapa tidak?
Dengan memahami dan memetik pelajaran dari sejarah, dalam hal ini sistem penanaman kopi di Priangan tempo dulu, khususnya sistem penananam bebas, kiranya reboisasi dengan tanaman kopi, layak untuk dicoba. Tentu terlebih dahulu Pemkab Bandung menyusun konsep tentang sistem penanaman kopi. Konsep itu mencakup tahap-tahap pelaksanaan berikut kebijakan dan aturan-aturannya.Penyusunan konsep itu tidak hanya melibatkan dinas pertanian dan kehutanan, tetapi sebaiknya melibatkan pula pakar-pakar yang terkait dengan program reboisasi dengan tanaman kopi, termasuk pakar bidang sosial budaya yang memahami bahan atau sumber acauan. Bila perlu, draft konsep itu didiskusikan dalam forum terbatas, agar program tersebut mendapat jaminan untuk dapat dilaksanakan, meskipun dengan dana realtif kecil. Sebelum program dilaksanakan, terlebih dahulu konsep program itu diperkenalkan kepada tokoh-tokoh petani atau mitra tani dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu, termasuk kepala desa, karena kepala desa adalah pejabat yang langsung berhubungan dengan rakyat/petani. Pengenalan program itu dimaksudkan untuk mengetahui respon masyarakat, khususnya petani calon pelaksana program. Hal itu sejalan dengan pernyataan atau penegasan Bupati Bandung beberapa waktu yang lalu, bahwa “visi dan misi Pemkab Bandung hanya dapat terwujud bila ada partisipasi masyarakat yang berbasis religius, kultural, dan berwawasan lingkungan, dan hakekat pembangunan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (PR, 22 dan 23 April 2003).
Dengan mencontoh sistem penanaman kopi secara bebas seperti tempo dulu, tentunya dengan memodivikasi hal-hal yang tidak relevan lagi dengan kondisi yang dihadapi sekarang, kiranya reboisasi dengan tanaman kopi akan mendatangkan masukkan dana bagi Pemkab Bandung untuk menunjang pembangunan berkelanjutan.
Demikian pula, apabila para petani memahami bahwa mereka bukan sekedar objek yang dikuasai, tetapi justru menjadi subjek yang bakal memperoleh keuntungan dari produksi kopi yang mereka tanam dan mereka pelihara, maka reboisasi dengan tanaman kopi akan mendatangkan kesehateraan bagi para petani. Bila ternyata demikian, hal itu berarti misi Pemkab Bandung yang ketiga, yaitu memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, dan misi kelima, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan potensi ekonomi daerah, dapat direalisasikan.
Mudahan-mudahan, urun rembug pemikiran dari seorang warga Bandung ini bermanfaat, setidaknya sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam melanjutkan program reboisasi. Pemkab Bandung tentu memahami, bahwa masyarakat sangat mengharapkan agar kondisi hutan berangsur-angsur pulih kembali. Bapak Bupati Bandung! Mohon jangan sampai warga masyarakat Bandung selalu bersenandung sendu, “hutanku sayang hutanku malang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar